Lestari!!

Selamat datang di Blog Kaki Singgalang....

Kamis, 27 November 2008

Tradisi Alek di Minang Dengan Tambua


(Tambua dengan Latar belakang Gunung Singgalang)


"Tambua" merupakan alat musik gendang tradisional dari Negeri yang bernama " Minang Kabau". Alat ini di tabuh oleh enam (6) orang penabuh dengan pakaian adat Minangkabau. Selain itu "Tambua" biasanya juga di iringi ole alat musik lain seperti "Tassa" dan "Talempong". Dengan alat ini maka bunyi "Tambua" akan semakin ramai.

Alat musik ini biasanya di gunakan untuk membuat ramai sebuah "Alek" atau acara pesta. Dengan Tambua ini maka acara alek akan semakin meriah.

Kendang Kayu

Kesenian Tambua ini memang dengan alat yang sederhana dan dimainkan sekelompok orang secara bersama. Mereka berupaya menghidangkan seni bunyi yang indah dan penuh nuansa perjuangan.

Peralatan dari kesenian ini ialah tambua atau tambur yang terbuat dari tabung kayu berukuran besar. Tingginya sekitar 75 sentimeter dengan garis tengah 50 sentimeter.

Untuk ketebalan kayu dapat divariasi agar tercipta bunyi-bunyian yang berbeda. Namun, biasanya berukuran 1,5 sentimeter sehingga terdengar bunyi nyaring dari kapsul kayu itu. Tabung itu ditutup dengan kulit kambing yang dikencangkan lilitan tali. "Tak ubahnya seperti beduk di Masjid, tapi ukurannya lebih kecil.

Ada satu lagi alat yang digunakan, yaitu tansa, berupa bejana berbentuk kuali. Bisa berbahan aluminium atau seng yang permukaannya ditutup kulit tipis. Alat ini digunakan sebagai pemandu pukulan pemegang tamburnya. Juga sebagai komando dalam pergantian lagu, mulai dan selesai. "Kalau didengar, perpaduan dua alat musik itu tercipta paduan bunyi yang indah," katanya.

Dari Gujarat

Seni Tambua yang berkembang di Sumatera Barat itu derasal dari kawasan India. Saat Islam masuk Indonesia, maka datanglah saudagar asal India terutama dari Gujarat. Mereka datang mencari rempah ke Minangkabau ratusan tahun lalu.

Para saudagar Gujarat tersebut akhirnya banyak juga yang beradaptasi dengan masyarakat setempat. Bahkan, menikah dan beranak-pinak di tempat mereka yang baru itu. Kemudian beberapa di antaranya bermukim di Pariaman.

Mereka ini yang akhirnya disebut urang kaliang karena mereka berasal dari suku Kalinga yang berkulit hitam. "Sebagai bangsa yang masih eksis di daerah rantau itu, maka mulailah mereka juga memainkan seni dari tanah leluhurnya.

Kesenian tersebut ialah memukul gendang kayu yang digunakan untuk berbagai upacara. Ternyata penduduk asli di Pariaman senang mendengarkan tetabuhannya, bahkan juga gerakannya mengundang semangat tersendiri.

Di antaranya upacara untuk mengenang cucu Nabi Muhammad saw., Hasan-Husen, tradisi kebanyakan kaum Islam Syiah. "Maka berkembanglah seni tambua ini di Pariaman," .

Setelah Islam berkembang di Pariaman dan banyak penduduk asli yang menganut agama yang dibawa para saudagar itu, mulailah dilaksanakan perayaan maharak tabui, yaitu perayaan untuk mengenang peristiwa Karbala. Ketika itu terjadi perang saudara sesama muslim antara pengikut Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dengan golongan Muawiyah sebagai kalifah kelima.

"Di sanalah kedua cucu Nabi Muhammad saw., gugur. Maharak tabuik merupakan simbol mengarak jenazah keduanya dan ini divisualkan pertempuran Karbala itu di Pariaman," katanya.

Setelah perkembangan zaman, akhirnya seni ini berkembang ke arah kawasan Danau Maninjau. Penduduk di sana mulai memainkan seni tradisi ini dan makin digemari. Perkembangan secara merata ke seluruh daerah pesisir di Sumatera Barat, bahkan setelah beberapa dekade akhirnya perkembangan hampir menyeluruh di provinsi tersebut. "Juga sampai keluar provinsi seperti Bengkulu,"

Kesenian tradisi semacam tambua ini juga dikenal di Bengkulu untuk mengiringi acara adatnya. Di sana dinamai tabot yang fungsinya juga sama, yaitu penolak balak. Setiap bulan Safar warga Bengkulu membuat gunungan dari berbagai macam buah-buahan dan penganan lain. Setelah itu gunungan diarak menuju laut untuk dilarung.


Tidak ada komentar: